Intelektual NU: Kebijakan Bulog Wajib Beli Gabah Rp6.500/Kg Langkah Positif, Perlu Pengawasan Ketat

 


INVESTIGASINEWSCOVER.COM

JAKARTA –Muhammad Aras Prabowo, akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), menyambut baik kebijakan pemerintah yang mewajibkan Perum Bulog untuk membeli Gabah Kering Panen (GKP) dari petani dengan harga Rp6.500 per kilogram tanpa syarat kualitas. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menjaga stabilitas harga pangan nasional.


“Kebijakan Prabowo ini bentuk keberpihakan yang nyata kepada petani. Tapi jangan sampai tidak ada pengawasan, Bulog harus dipastikan turun betul membeli gabah ke petani. Jangan ada permainan dengan tenkulak!!!”, tegas Muhammad Aras Prabowo. 31/01/2025


Sebelumnya, pembelian GKP oleh Bulog mensyaratkan kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%. Gabah yang tidak memenuhi standar ini hanya dibeli dengan harga lebih rendah melalui mekanisme rafaksi. Namun, berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025, aturan rafaksi tersebut telah dicabut, dan Bulog diwajibkan membeli GKP dengan harga tetap Rp6.500 per kilogram, tanpa mempertimbangkan kadar air dan kadar hampa.


“Langkah ini merupakan kebijakan afirmatif yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung petani. Dengan harga yang lebih stabil, pendapatan petani bisa meningkat dan mereka tidak lagi dirugikan oleh standar kualitas yang kerap menjadi kendala dalam penjualan hasil panen,” ujar Aras.


Kebijakan ini juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Dengan harga beli yang lebih tinggi dan tidak adanya diskriminasi terhadap kualitas gabah, diharapkan para petani lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi, sementara stok beras nasional dapat terjaga dengan baik.


Selain itu, Muhammad Aras Prabowo mengingatkan Presiden Prabowo agar memerintahkan Menteri Pertanian Republik Indonesia Andi Amran Sulaiman supaya tidak ada lagi petani yang mengalami keterlambatan pupuk. “Ada lingkaran setan dalam tatakelola pertanian yang tidak pernah teratasi yaitu kekurangan pupuk pada masa pemupukan padi. Sehingga berimbas pada gagal panen oleh petani. Oleh karenanya, soal gabah dan kesejahteraan petani ini harus diselesaikan dari hulu ke hilir”, tegas Akademis UNUSIA.


Pemerintah juga telah memberikan tambahan anggaran sebesar Rp16,6 triliun kepada Bulog untuk mendukung implementasi kebijakan ini. Anggaran tersebut ditujukan untuk memastikan Bulog memiliki kapasitas yang cukup dalam menyerap gabah petani serta mengelola stok cadangan beras pemerintah (CBP) dengan optimal.


“Penambahan anggaran ini sangat krusial agar Bulog dapat berfungsi dengan maksimal. Namun, perlu dipastikan bahwa dana tersebut dikelola dengan efisien dan tidak terjadi kebocoran anggaran yang bisa merugikan negara dan petani,” tambah Aras.


Meskipun kebijakan ini membawa dampak positif bagi petani, Aras menekankan pentingnya pengawasan dalam implementasi di lapangan. Menurutnya, beberapa tantangan utama yang harus diantisipasi adalah:


Distribusi dan Mekanisme Pembelian: Bulog harus memastikan proses pembelian berjalan lancar di seluruh wilayah, termasuk daerah yang sulit dijangkau. Infrastruktur dan mekanisme logistik harus diperbaiki agar gabah dapat terserap dengan optimal.


Potensi Permainan Harga oleh Tengkulak: Dengan harga patokan yang jelas, perlu ada pengawasan agar tidak terjadi permainan harga oleh tengkulak atau perantara yang bisa merugikan petani.


Efisiensi dalam Pengelolaan Stok: Bulog harus memiliki strategi yang baik dalam menyimpan dan mendistribusikan gabah yang dibeli, agar tidak terjadi penumpukan stok yang bisa merugikan perusahaan dan pemerintah.


Sinergi dengan Pemangku Kepentingan: Pemerintah daerah, asosiasi petani, dan pihak swasta harus terlibat aktif dalam menyukseskan kebijakan ini. Diperlukan koordinasi yang kuat agar penyerapan gabah tidak hanya mengandalkan Bulog, tetapi juga partisipasi dari berbagai pihak.


Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan kesejahteraan petani dapat meningkat dan ketahanan pangan nasional semakin kuat. Namun, implementasi di lapangan harus diawasi secara ketat agar kebijakan ini benar-benar efektif dan tepat sasaran.


“Pengawasan harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, mahasiswa, aktivis dan masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa program ini berjalan sesuai tujuan. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini akan menjadi langkah maju dalam memperkuat sektor pertanian di Indonesia,” pungkas Aras.


Sebagai bagian dari institusi akademik, UNUSIA berkomitmen untuk terus mengawal kebijakan-kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas, terutama dalam sektor pertanian dan pangan.


“UNUSIA punya kepentingan besar dalam kesejateraan petani, pasalnya sebagian besar dari jama’ah Nahdlatul Ulama (NU) memiliki matapencaharian sebagai petani”, tutup Inteletual Muda NU ( Achmad Hidayat)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama